Dia mengatakan, beberapa lembaga survei
memberikan informasi menyesatkan yang bertujuan menggiring opini publik
untuk menaikkan elektabilitas melalui mekanisme persepsi dan
penggiringan opini dengan cara-cara tertentu.
Indikasinya, kata dia lagi, banyak
hasil survei tidak realistis. Berbagai cara dilakukan beberapa lembaga
survei untuk mengutak-atik angka.
Dalam catatan Arya setidaknya ada tiga
contoh yang bisa dijadikan pelajaran untuk masyarakat agar tidak tertipu
lagi dengan hasil survei yang telah diatur sedemikian rupa.
Pertama, hilangnya nama kuat dalam
pantauan radar lembaga survei. Hal ini dilakukan untuk mengerek
elektabilitas calon lain sesuai pesanan. Sebab tanpa menghilangkan nama
tersebut angka elektabilas calon yang memesan survei tak banyak
bergerak.
"Nama Jokowi sangat kuat. Tapi dihilangkan, supaya nama lain bisa mencuat," kata Arya.
Kedua, jelasnya, elektabilitas partai
yang tiba-tiba mencuat. Padahal tidak ada kejadian luar biasa yang
mempengaruhi keterpilihan partai tersebut.
Contohnya partai yang pada masa jayanya hanya mendapat angka 7 persen, kini bisa naik dua kali lipat elektabilitasnya.
"Padahal masa jaya telah berlalu dan tidak ada kejadian luar biasa yang mempengaruhi keterpilihan partai tersebut," kata Arya.
Ketiga adalah survei pada pemilihan
kepala daerah. Di Jakarta dan Jawa Barat, hasil survei tak sesuai dengan
hasil Pilkada.Arya mengatakan hasil survei yang menyesatkan tidak hanya
berdampak pada pemilih.
Tapi juga partai, calon presiden,
legislatif, dan kepala daerah yang tidak melakukan survei internal.
Sehingga pengaturan strategi bisa salah.Arya berharap supaya lembaga
survei yang ada menjaga kredibelitasnya dengan memberikan hasil survei
yang murni tanpa pengaturan kepada masyarakat. Sehingga bisa menjadi
alat pendidikan politik untuk rakyat.
"Bukan menggalang opini untuk partai dan capres tertentu," demikian Arya. [wid]